Review Aquaman (2018). Film DCEU terbaik?

Setelah muncul di Batman Vs Superman dan Justice League, kini Aquaman punya film solonya.

Bosen dapet kritikan pedas, Warner Bros berusaha membangun image DCEU dengan menggaet sutradara yang lebih terkenal sama genre horrornya, James Wan.

Sinopsis

Dimulai dengan drama romantis ketika Tom Curry (Temuera Morrison) dan Queen Atlanna (Nicole Kidman) bertemu dengan cara yang nggak biasa. Perjalinan cinta mereka yang terlarang ini menghasilkan anak bernama Arthur Curry, yang nantinya dijuluki Aquaman, pewaris tahta kerajaan Atlantis.

Ibunya harus kembali ke Atlantis. Sementara Arthur hidup dengan Ayahnya di daratan. Setelah dewasa, Arthur menjadi masa bodo dengan dunia Atlantis. Dia lebih memilih hidup tenang di daratan dengan sang Ayah, tapi kemunculan Mera yang menjemputnya untuk pulang ke Atlantis mengubah semua rencana Arthur. Gangguan demi gangguan di daratan yang berasal dari laut pun berhasil mengusiknya dan memancingnya untuk pulang. Dari sinilah petualangannya dimulai.

Cerita Superhero yang Klasik

Gak ada yang spesial dari segi cerita. Malah, film ini mirip banget sama Black Panther dari Marvel Cinematic Universe.

Keduanya menceritakan dunia yang orang lain pikir cuma mitos, aksi perang yang mengagumkan, perebutan tahta sampe love interest juga mirip.

Visualisasi yang Keren

Yang bikin gue suka sama film ini adalah visualisasinya yang keren. Perlahan-lahan kita diajak tur keliling Atlantis, mulai dari pintu gerbangnya seperti bagian imigrasi di bandara, kota Atlantis yang megah dan high-tech, serta dijelaskan sejarah-sejarah leluhur Atlantis.

Pasukan Atlantian yang mengendarai hiu dan pasukan Raja Nereus yang mengendarai kuda laut juga terlihat mengagumkan.

Oh iya, ketika mereka ngomong di bawah laut, gak ada gelembung-gelembung kayak film-film sejenisnya. Detail macam rambut yang terbawa arus juga gak dilupain gitu aja.

Adegan berantemnya Arthur dan Orm di awal cerita juga gak kalah asik. Gurita yang menabuh drum, lahar bawah laut yang mengancam, sampe riuhnya penonton menambah kesan epik. Mirip kayak Gladiatornya Roma.

Petualangan Mencari Harta Karun

Arthur yang slengean dan Mera yang terstruktur harus mencari Trisula dari Raja Atlan untuk bisa mengalahkan Orm.

Dimulai dari pengenalan Atlantis, lalu menuju gurun Sahara. Kemudian ke Italia hingga akhirnya ke tempat yang dituju.

Nah disini yang bikin gue terkagum-kagum. Aksi kejar-kejaran dan gebuk-gebukan antara Arthur sama Black Manta dan Mera sama pasukan Atlantis disuguhkan dengan asyik. Perpindahan kameranya mulus banget cuy. Padahal mereka ada di 2 tempat yang berbeda.

Jokesnya Receh

Kekurangannya ya gini. Sumpah, garing banget.

“hah?”

Atau

“gimana gimana?”

Adalah reaksi gue pas denger jokes-jokesnya.

Pengen ketawa, tapi ya gak bisa 😦

Tapi ya namanya juga selera humor, pasti beda-beda lah ya. Kalau gue sih, tetep kaku sama jokes-jokesnya.

Kesimpulan

Akhir kata, kalau lo suka sama cerita yang asyik atau menguras otak, ini bukan filmnya. Tapi kalau lo suka sama film-film James Wan, lo pasti suka sama visualisasi dari film ini. Pokoknya film ini tertolong sama visualisasinya yang aduhai!

Kalau Joko Anwar bilang,”Skenario adalah tulang punggung sebuah film.”

Untuk kali ini, gue harus setuju sama @WatchmenID, “Visualisasi adalah tulang punggung sebuah film.”

Jangan dulu keluar setelah filmnya beres. Karena ada 1 post credit di pertengahan.

Oh iya, tolong dong itu kalau mau sensor yang rapian dikit lah LSF 😦

RATING: 4/5

One Comment Add yours

Leave a comment